Obat Mengandung Ranitidin Ditarik dari Peredaran, 67 Merk Obat Hentikan Suplai di Pasaran
JAKARTA - Peredaran obat yang mengandung Ranitidin dihentikan sementara untuk dilakukan uji laboratorium secara mendalam menilik adanya temuan cemaran N-Nitrosodimethylamine (NDMA). Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Penny Lukito mengatakan Ranitidin adalah obat generik yang digunakan sebagai obat tukak lambung dan tukak usus. Terdapat 67 merk obat di Indonesia yang menggunakan Ranitidin, baik dalam bentuk sediaan injeksi, sirup dan tablet. \"Obat dengan Ranitidin di Indonesia tergolong obat keras sehingga hanya disediakan di apotek dan untuk mendapatkannya harus dengan resep dokter. Bagi masyarakat yang sudah menggunakan obat dengan Ranitidin agar berkonsultasi dengan dokter supaya diberi obat pengganti,\" terangnya kemarin (11/10). Adapun lama uji lab terhadap kandungan Ranitidin tercemar NDMA, Penny mengatakan tidak dapat memastikan waktu pastinya. Hanya saja produk dengan Ranitidin sudah secara berangsur ditarik dan beberapa pemegang merk sudah menarik secara sukarela. Baca juga Kecelakaan di Mertoyudan, Pembonceng Motor Tewas Tertabrak Truk \"Tahap awal sediaan injeksi dan sirup mengandung Ranitidin yang ditarik. Saat ini ada imbauan pelarangan BPOM atas segala bentuk tablet juga injeksi sirup semua dihentikan distribusi dan peredarannya,\" katanya. Studi global memutuskan nilai ambang batas cemaran NDMA yang diperbolehkan adalah 96 nanogram/hari (acceptable daily intake). Cemaran NDMA berpotensi memicu kanker (karsinogenik) jika dikonsumsi di atas ambang batas secara terus menerus dalam jangka waktu yang lama US Food and Drug Administration (US FDA) dan European Medicine Agency (EMA) juga meninjau keamanan dari produk mengandung Ranitidin. US FDA dan EMA menyebut NDMA merupakan turunan zat Nitrosamin yang dapat terbentuk secara alami. Atas dasar ambang batas itu, BPOM menjadikan dasar dalam mengawal keamanan obat yang beredar di Indonesia sehingga sejumlah produk mengandung Ranitidin ditarik. \"Ini kami dapat info dari US FDA dan EMA. Ini bentuk BPOM berjejaring secara internasional, BPOM ambil langkah pengamanan,\" katanya. Penny mengimbau masyarakat tidak panik dengan penarikan produk mengandung Ranitidin. \"Kami harapkan masyarakat merespon tidak panik. Tukak lambung dan tukak usus ada obat alternatifnya,\" katanya. Ketua Kajian Obat PB Ikatan Dokter Idonesia (IDI) dr Rika Yuliwulandari menambahkan zat cemaran NDMA pada obat mengandung ranitidin bisa terdapat dalam makanan. \"Soal NDMA ini memang harus hati-hati, ada di air, susu dan ikan,\" kata Rika. Dia mengatakan secara umum memang NDMA bisa ada di banyak materi, termasuk pada obat dengan ranitidin. Jika dalam prosesnya nanti ranitidin dapat disterilkan dari NDMA maka bisa jadi bahan tersebut dipakai lagi di dunia kesehatan. Hanya saja, kata dia, hal itu harus dibuktikan secara uji laboratorium apakah Ranitidin tidak karsinogenik atau zat yang memicu kanker akibat penggunaan dalam dosis tertentu dan dalam jangka waktu yang lama. \"Kalau nanti steril bisa dipakai lagi atau juga misalnya level toksisitas menurun bisa dengan penyinaran ultraviolet dan cara lain,\" kata dia. Terpisah, Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) meminta BPOM untuk melakukan pengawasan lebih aktif menyangkut label imbauan pemanis buatan yang beredar di pasar. \"Kita minta agar Badan POM lebih pro aktif melakukan pengawasan. Regulasinya sudah ada sebagai bentuk free market control oleh pemerintah tapi kontrol pascapasar seperti apa,\" ujar Ketua Harian YLKI Tulus Abadi, kemarin. Permintaan YLKI itu muncul setelah mereka mengadakan survei dan analisis efektivitas penandaan kandungan pemanis buatan dalam produk makanan dan minuman. YLKI mengambil sampel 90 responden dari kelompok yang dianggap rentan terhadap dampak pemanis buatan yaitu ibu hamil, menyusui dan yang memiliki anak-anak balita. Survei yang dilakukan dalam rentang Maret-April 2019 di daerah Jakarta Selatan itu menemukan bahwa 47 persen responden mengenali lebih dari 10 produk dari 25 produk yang dijadikan sampel. Meski mayoritas responden pernah mendengar perihal pemanis buatan tapi kebanyakan menganggapnya sebagai pengganti gula atau biang gula, sekitar 96 persen responden bahkan tidak mengetahui nama-nama pemanis buatan tersebut. Sekitar 51 persen mengaku jarang membaca peringatan atau imbauan kesehatan yang terdapat di kemasan produk, jika pun pernah membaca perhatian mereka bukan kepada informasi komposisi dan peringatan yang ada. Meski dalam Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) Nomor 33 tahun 2012 dan Keputusan Kepala BPOM Nomor HK.00.05.5.1.4547 tahun 2004 sudah mengatur soal penandaan khusus untuk pemanis buatan dalam pelabelan produk, dalam kenyataannya kurang efektif, menurut Tulus. Dalam survei YLKI, ujarnya, terlihat bahwa kebanyakan label tidak efektif karena konsumen yang pernah membacanya merasa labelnya terlalu kecil, tercetak samar dan tidak menarik perhatian. \"Bisa dikategorikan sebagai pelanggaran UU Perlindungan Konsumen karena salah satu hak konsumen mendapatkan informasi yang jelas dan jujur lewat label. Ketika label disembunyikan khususnya untuk peringatan kesehatan itu, ini semacan kesengajaan ataupun itikad tidak baik dari produsen,\" kata Tulus. Pemanis buatan merupakan golongan bahan tambahan pangan yang tidak memiliki nilai gizi. Sejauh ini terdapat 13 jenis pemanis yang diizinkan untuk dipakai di produk pangan oleh BPOM. (ful/fin)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: